Juara II Kategori Cerpen Audisi Penulis Muda Subang Berbakat 2013
Suara
bising para pejabat ibu kota telah memenuhi pangkal pendengaranku. Mereka
datang ke tanah ulayatku dengan niat membangun peradaban baru, katanya. Maka
pada hari itu, dari tokoh agama, kepala desa, sampai preman-preman kampung
–sebagai perwakilan pemuda dusun– ikut andil di balai desa. Bersama orang-orang
kota itu, mereka memperdebatkan pembebasan tanah. Menurut penjelasan mereka,
bahwa rencananya di desa kami akan dibangun sebuah kawasan industri. Katanya
lagi, agar kami dapat merasakan nikmatnya manfaat dari kemajuan industri.
Selain itu, agar tingkat pengangguran semakin berkurang.
Hari
itu pun seluruh perwakilan tokoh menyetujuinya. Tanpa memikirkan dampak jangka
panjang, kepala desa bernegosiasi dengan para warga untuk menentukan harga
tanah serendah-rendahnya. Sebagaimana telah diketahui, penduduk desa hanya akan
menerima segala apa yang telah diutarakan Pak Lurah. Dan itu artinya, kami
harus bersiap kehilangan tanah warisan milik nenek moyang kami. Bukan hanya
itu, kami pun akan kehilangan pekerjaan sebagai petani. Terlebih pada nasib
ayahku. Semua orang pun tahu, aku sendiri memahami, ayahku akan sulit
dipisahkan dengan pekerjaannya sebagai petani tulen. Baginya, hidupnya, dan
mungkin juga keyakinan akan masa depannya, hanya ada di atas sebidang tanah;
bercocok tanam.
Bagi
sebagian orang yang memiliki tanah sendiri, kemudian mendapat jatah bayaran
dari hasil gusuran pabrik, akan tertawa dengan bahagia. Setidaknya mereka akan
dengan mudah membangun los kontrakan bagi masa depan anak-anaknya. Karena dipastikan, di desa kami tidak hanya
akan dihuni oleh orang-orang pribumi saja, melainkan akan banyak berdatangan
para pengunjung yang sengaja merantau dalam rangka mencari kerja. Sialnya,
ayahku tidak memiliki sebidang tanah itu. Selama ini ayahku hanya bertani
menggarap tanah orang lain. Ayahku mulai jatuh dengan pekerjaannya. Apa boleh
buat, aku harus siap siaga membantu kehidupan keluarga dengan mencari kerja.
Ada
rasa perih melihat senyum ayahku yang selalu terkesan dipaksakan. Aku pilu
dengan kehidupan yang tengah kujalani ini. Bagaimana perasaan beliau ketika
melihat anak-anaknya kelaparan jika tak ada apapun untuk dimakan? Sementara
tanah di seluruh desa kami mulai ditanami bangunan-bangunan kokoh. Bagaimana caranya
menjelaskan pada kami, anak-anaknya yang terkadang tidak mau tahu urusan orang
tua, agar dapat percaya bahwa kami akan baik-baik saja? Pertanyaan-pertanyaan
itu sesungguhnya adalah perasaan kecewa akan kehidupan yang mulai tampak tak
adil. Kerasnya perjalanan membuat aku harus mafhum akan segala apa yang ingin
aku raih. Ya Allah, apakah Engkau memang Maha Adil?
***
Aku
mengintip ke luar jendela, 13 April 2003
hari ini. Tinggal beberapa bulan lagi Ujian Nasional tingkat SMP akan
dilaksanakan. Itu artinya, sebentar lagi aku akan menamatkan sekolah. Agar
mendapat nilai baik, aku belajar mati-matian. Tidak siang, tidak juga malam,
hari-hariku dipenuhi oleh semangat belajar yang meluap-luap. Aku tulis
segalanya di atas kertas target. Mengenai harapan-harapan sepiku, cita-cita
untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Jelas
tergambar raut wajah ayahku yang sering terlihat pucat. Ada beberapa kemugkinan
alasan mengapa ayahku, akhir-akhir ini, selalu tampak murung. Pertama, ayahku
kehilangan pekerjaannya sebagai petani sebab tak ada lagi sawah ataupun ladang
untuk sekadar digarapnya. Alasan kedua, beliau terlalu memikirkan masa depan
anak-anaknya.
Pada
suatu malam, ketika aku masih duduk di kelas dua SMP, aku pernah bercerita pada
ayah-ibuku akan keinginan sekolah lagi setelah tamat SMP. Paling tidak dengan
ijazah SMA, aku bisa melamar kerja pada tingkatan yang aman. Hal itu-lah yang
menyebabkan ayahku sering menatapku tajam, menepuk pundakku, lalu menyuruhku
makan setelah salat magrib.
Keriput
di kening ayahku, setelah lamat-lamat diamati, sepertinya semakin hari kian
bertambah. Dengan tenaga sisa, beliau memaksakan dirinya bermetamorfosis
profesi, dari buruh tani menjadi kuli bangunan di proyek pembangunan pabrik.
Sementara aku masih tetap fokus pada Ujian Nasional, mengingat tinggal satu
bulan lagi masa efektif belajarku di sekolah. Begitulah, aku hanya tahu kalau
Tuhan akan memberi jalan bagi keinginanku itu.
“Apa
cita-citamu, Nak?” suatu hari ayahku pernah bertanya.
“Aku
ingin jadi penulis. Nanti, suatu hari, aku akan menceritakan kisah hidup Ayah
yang penuh dengan perjuangan,” pekikku bersemangat.
Ayahku
mengangguk-angguk seolah memahami apa yang telah aku jelaskan. Tersenyum dan
diakhiri dengan menepuk pundakku dengan bangga.
Akhirnya,
ujian yang telah dinanti-nanti itu telah tiba. Aku melalap soal dengan ringan.
Paling ada beberapa pertanyaan yang belum terlalu dipahami, dijawab dengan
keraguan. Tapi aku sungguh puas. Setidaknya, belajarku selama ini tidak
sia-sia. Bahkan aku yakin, nilai UN, Ujian Nasional, di mata pelajaran
matematika akan mendapat hasil sempurna. Memang tidak gampang untuk mencapai
keyakinan seperti itu, butuh proses yang panjang dan melelahkan.
Setelah
Ujian Nasional berakhir, ada masa di mana seluruh siswa menunggu hasil
kelulusan selama satu bulan, aku mencoba mencari kerja agar cita-cita
melanjutkan sekolah bisa terlaksana. Dari mulai kuli bangunan, menganyam rotan,
sampai pernah di suruh jadi pembantu rumah tangga, telah aku jalani. Namun
setelah dihitung-hitung, uang yang terkumpul sampai pada kelulusan tidak akan
memenuhi target. Walaupun aku jungkir balik, bekerja siang-malam, rasa-rasanya
tetap tidak akan mencukupi untuk membayar registrasi nanti ke SMA.
Setelah
kelulusan SMP, ada waktu dua minggu untuk melunasi seluruh biaya jika resmi
diterima di SMA. Satu-satunya harapanku ada di tangan ayahku. Aku memberanikan
diri untuk berbicara masalah tersebut setelah aku dinyatakan diterima di SMA.
Seperti biasa, ayahku tersenyum lalu menepuk pundakku. Tak ada jawaban lain. Menepuk
pundak artinya adalah akan ada tanda baik-baik saja. Sepertinya aku memang
tidak terlalu paham dengan apa yang direncanakan ayahku.
Hampir
dua minggu aku menunggu ayah mendapat biaya tambahan itu. Tapi belum ada
jawaban sama sekali. Setiap aku berpapasan dengan beliau, hanya senyum dan
lagi-lagi menepuk pundak. Sementara pendaftaran akan ditutup empat hari lagi.
Ah, aku sungguh mulai kehabisan kesabaran. Bukankah ini sudah tugas Ayah membiayaiku
sekolah? Pikirku singkat.
Dua
hari sebelum pendaftaran ke SMA ditutup, ketika ayahku baru saja akan
berikhtiar mencari biaya sekolahku, di depan pintu rumah panggung kami, beliau
tiba-tiba saja jatuh. Kemudian, berulang kali beliau memanggil-manggil ibuku.
Aku sendiri segera berlari, membantu mengangkat ayahku ke dalam rumah. Saat itu
ayah tak pernah bisa menggerakan seluruh badannya, kecuali di bagian kepala.
Ayahku lumpuh total.
Aku
benci dengan semua ini. Aku berlari sekencang-kencangnya. Karena berlari
sedikitnya meringankan kehidupanku. Aku berlari melewati padang, gedung-gedung
pabrik, pasar kumuh, sampai aku tiba diatas bukit situ. Di sana aku berteriak
sekeras-kerasnya. Aku marah pada Tuhan. Setelah harapan sekolahku musnah karena
tak ada biaya, kini ayahku sakit tak berdaya di atas tikar pandan. Aku menangis
sejadi-jadinya. Kemudian aku pulang dengan perasaan tak menentu.
Satu
malam terakhir ketika pendaftaran akan ditutup, ayahku memanggilku dengan
sisa-sisa suaranya yang kering. Aku mendekatinya. Dan beliau mengatakan dengan
lirih padaku, “Kau harus tetap semangat, Nak! Kau harus sekolah. Kejar
cita-citamu...”.
Aku
terisak. Hingga tengah malam, pikiranku masih membayang ke mana-mana. Aku
pura-pura memicingkan mata, kulihat ibuku bangkit dari tidurnya. Ia menuju
kamar madi, kemudian mendirikan salat malam. Dalam suara do’anya yang ditelan
sunyi, aku merinding bukan main. Tak henti-hentinya beliau bersembahyang,
berdo’a lagi, menangis dan berujung pada matanya yang mulai tampak membengkak.
Aku terharu. Malam itu juga aku menghampiri ibuku. Aku mencium tangannya yang
kasar, memeluknya dengan erat sembari memohon maaf atas keinginanku yang
terlalu tinggi. Obsesif kompulsif mungkin adalah isu yang pas bagi mimpiku itu.
Esok
harinya, tiba-tiba saja seorang berbaju empat saku safari datang kerumahku. Dengan
penuh kebijaksanaan ia menjelaskan maksud dan tujuannya. Aku mengintipnya dari
balik pintu, mendengar perbincangan orang itu dan ibuku. Lamat laun aku mulai
memahami apa yang telah ia maksudkan. Tamu bersafari itu adalah seorang guru di
SMA tempat tujuanku mendaftar. Aku terharu bukan main. Ternyata, ia ingin aku
tetap sekolah. Detik itu pula, aku, ibuku dan kedua adikku bersujud syukur. Aku
menangis sesenggukan. Beberapa kali aku mengucapkan terima kasih kepada guru
tersebut. Karena bantuannya, aku bisa sekolah gratis sampai tamat SMA.
Di
atas tikar pandan, ayahku terbaring tak berdaya. Tapi matanya tak bisa dibohongi. Ayahku meneteskan air
mata kebanggaannya.
Detik itu pula aku berjanji, aku tak akan pernah lagi menyerah. Aku tak akan
marah pada Tuhan sedikitpun. Sebab Tuhan memang Maha Adil.
Dan, akan kuabadikan nama ayah-ibuku dalam balutan semangat yang tak akan
pernah berakhir. Ya Allah, terimakasih banyak atas segala rahmat-Mu. Selamat tinggal kebodohan.
Selamat datang Tut Wuri
Handayani!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar