Sabtu, 01 Februari 2014

Merenda Hari Esok

Penulis : Aji Sutiono

Juara II Kategori Cerpen Audisi Penulis Muda Subang Berbakat 2013


Suara bising para pejabat ibu kota telah memenuhi pangkal pendengaranku. Mereka datang ke tanah ulayatku dengan niat membangun peradaban baru, katanya. Maka pada hari itu, dari tokoh agama, kepala desa, sampai preman-preman kampung –sebagai perwakilan pemuda dusun– ikut andil di balai desa. Bersama orang-orang kota itu, mereka memperdebatkan pembebasan tanah. Menurut penjelasan mereka, bahwa rencananya di desa kami akan dibangun sebuah kawasan industri. Katanya lagi, agar kami dapat merasakan nikmatnya manfaat dari kemajuan industri. Selain itu, agar tingkat pengangguran semakin berkurang.

Hari itu pun seluruh perwakilan tokoh menyetujuinya. Tanpa memikirkan dampak jangka panjang, kepala desa bernegosiasi dengan para warga untuk menentukan harga tanah serendah-rendahnya. Sebagaimana telah diketahui, penduduk desa hanya akan menerima segala apa yang telah diutarakan Pak Lurah. Dan itu artinya, kami harus bersiap kehilangan tanah warisan milik nenek moyang kami. Bukan hanya itu, kami pun akan kehilangan pekerjaan sebagai petani. Terlebih pada nasib ayahku. Semua orang pun tahu, aku sendiri memahami, ayahku akan sulit dipisahkan dengan pekerjaannya sebagai petani tulen. Baginya, hidupnya, dan mungkin juga keyakinan akan masa depannya, hanya ada di atas sebidang tanah; bercocok tanam.

Bagi sebagian orang yang memiliki tanah sendiri, kemudian mendapat jatah bayaran dari hasil gusuran pabrik, akan tertawa dengan bahagia. Setidaknya mereka akan dengan mudah membangun los kontrakan bagi masa depan anak-anaknya.  Karena dipastikan, di desa kami tidak hanya akan dihuni oleh orang-orang pribumi saja, melainkan akan banyak berdatangan para pengunjung yang sengaja merantau dalam rangka mencari kerja. Sialnya, ayahku tidak memiliki sebidang tanah itu. Selama ini ayahku hanya bertani menggarap tanah orang lain. Ayahku mulai jatuh dengan pekerjaannya. Apa boleh buat, aku harus siap siaga membantu kehidupan keluarga dengan mencari kerja.


Ada rasa perih melihat senyum ayahku yang selalu terkesan dipaksakan. Aku pilu dengan kehidupan yang tengah kujalani ini. Bagaimana perasaan beliau ketika melihat anak-anaknya kelaparan jika tak ada apapun untuk dimakan? Sementara tanah di seluruh desa kami mulai ditanami bangunan-bangunan kokoh. Bagaimana caranya menjelaskan pada kami, anak-anaknya yang terkadang tidak mau tahu urusan orang tua, agar dapat percaya bahwa kami akan baik-baik saja? Pertanyaan-pertanyaan itu sesungguhnya adalah perasaan kecewa akan kehidupan yang mulai tampak tak adil. Kerasnya perjalanan membuat aku harus mafhum akan segala apa yang ingin aku raih. Ya Allah, apakah Engkau memang Maha Adil?
***
Aku mengintip ke luar jendela,  13 April 2003 hari ini. Tinggal beberapa bulan lagi Ujian Nasional tingkat SMP akan dilaksanakan. Itu artinya, sebentar lagi aku akan menamatkan sekolah. Agar mendapat nilai baik, aku belajar mati-matian. Tidak siang, tidak juga malam, hari-hariku dipenuhi oleh semangat belajar yang meluap-luap. Aku tulis segalanya di atas kertas target. Mengenai harapan-harapan sepiku, cita-cita untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. 

Jelas tergambar raut wajah ayahku yang sering terlihat pucat. Ada beberapa kemugkinan alasan mengapa ayahku, akhir-akhir ini, selalu tampak murung. Pertama, ayahku kehilangan pekerjaannya sebagai petani sebab tak ada lagi sawah ataupun ladang untuk sekadar digarapnya. Alasan kedua, beliau terlalu memikirkan masa depan anak-anaknya.

Pada suatu malam, ketika aku masih duduk di kelas dua SMP, aku pernah bercerita pada ayah-ibuku akan keinginan sekolah lagi setelah tamat SMP. Paling tidak dengan ijazah SMA, aku bisa melamar kerja pada tingkatan yang aman. Hal itu-lah yang menyebabkan ayahku sering menatapku tajam, menepuk pundakku, lalu menyuruhku makan setelah salat magrib.
Keriput di kening ayahku, setelah lamat-lamat diamati, sepertinya semakin hari kian bertambah. Dengan tenaga sisa, beliau memaksakan dirinya bermetamorfosis profesi, dari buruh tani menjadi kuli bangunan di proyek pembangunan pabrik. Sementara aku masih tetap fokus pada Ujian Nasional, mengingat tinggal satu bulan lagi masa efektif belajarku di sekolah. Begitulah, aku hanya tahu kalau Tuhan akan memberi jalan bagi keinginanku itu. 

“Apa cita-citamu, Nak?” suatu hari ayahku pernah bertanya.
“Aku ingin jadi penulis. Nanti, suatu hari, aku akan menceritakan kisah hidup Ayah yang penuh dengan perjuangan,” pekikku bersemangat.
Ayahku mengangguk-angguk seolah memahami apa yang telah aku jelaskan. Tersenyum dan diakhiri dengan menepuk pundakku dengan bangga.

Akhirnya, ujian yang telah dinanti-nanti itu telah tiba. Aku melalap soal dengan ringan. Paling ada beberapa pertanyaan yang belum terlalu dipahami, dijawab dengan keraguan. Tapi aku sungguh puas. Setidaknya, belajarku selama ini tidak sia-sia. Bahkan aku yakin, nilai UN, Ujian Nasional, di mata pelajaran matematika akan mendapat hasil sempurna. Memang tidak gampang untuk mencapai keyakinan seperti itu, butuh proses yang panjang dan melelahkan.

Setelah Ujian Nasional berakhir, ada masa di mana seluruh siswa menunggu hasil kelulusan selama satu bulan, aku mencoba mencari kerja agar cita-cita melanjutkan sekolah bisa terlaksana. Dari mulai kuli bangunan, menganyam rotan, sampai pernah di suruh jadi pembantu rumah tangga, telah aku jalani. Namun setelah dihitung-hitung, uang yang terkumpul sampai pada kelulusan tidak akan memenuhi target. Walaupun aku jungkir balik, bekerja siang-malam, rasa-rasanya tetap tidak akan mencukupi untuk membayar registrasi nanti ke SMA.

Setelah kelulusan SMP, ada waktu dua minggu untuk melunasi seluruh biaya jika resmi diterima di SMA. Satu-satunya harapanku ada di tangan ayahku. Aku memberanikan diri untuk berbicara masalah tersebut setelah aku dinyatakan diterima di SMA. Seperti biasa, ayahku tersenyum lalu menepuk pundakku. Tak ada jawaban lain. Menepuk pundak artinya adalah akan ada tanda baik-baik saja. Sepertinya aku memang tidak terlalu paham dengan apa yang direncanakan ayahku.

Hampir dua minggu aku menunggu ayah mendapat biaya tambahan itu. Tapi belum ada jawaban sama sekali. Setiap aku berpapasan dengan beliau, hanya senyum dan lagi-lagi menepuk pundak. Sementara pendaftaran akan ditutup empat hari lagi. Ah, aku sungguh mulai kehabisan kesabaran. Bukankah ini sudah tugas Ayah membiayaiku sekolah? Pikirku singkat.

Dua hari sebelum pendaftaran ke SMA ditutup, ketika ayahku baru saja akan berikhtiar mencari biaya sekolahku, di depan pintu rumah panggung kami, beliau tiba-tiba saja jatuh. Kemudian, berulang kali beliau memanggil-manggil ibuku. Aku sendiri segera berlari, membantu mengangkat ayahku ke dalam rumah. Saat itu ayah tak pernah bisa menggerakan seluruh badannya, kecuali di bagian kepala. Ayahku lumpuh total.

Aku benci dengan semua ini. Aku berlari sekencang-kencangnya. Karena berlari sedikitnya meringankan kehidupanku. Aku berlari melewati padang, gedung-gedung pabrik, pasar kumuh, sampai aku tiba diatas bukit situ. Di sana aku berteriak sekeras-kerasnya. Aku marah pada Tuhan. Setelah harapan sekolahku musnah karena tak ada biaya, kini ayahku sakit tak berdaya di atas tikar pandan. Aku menangis sejadi-jadinya. Kemudian aku pulang dengan perasaan tak menentu.

Satu malam terakhir ketika pendaftaran akan ditutup, ayahku memanggilku dengan sisa-sisa suaranya yang kering. Aku mendekatinya. Dan beliau mengatakan dengan lirih padaku, “Kau harus tetap semangat, Nak! Kau harus sekolah. Kejar cita-citamu...”.

Aku terisak. Hingga tengah malam, pikiranku masih membayang ke mana-mana. Aku pura-pura memicingkan mata, kulihat ibuku bangkit dari tidurnya. Ia menuju kamar madi, kemudian mendirikan salat malam. Dalam suara do’anya yang ditelan sunyi, aku merinding bukan main. Tak henti-hentinya beliau bersembahyang, berdo’a lagi, menangis dan berujung pada matanya yang mulai tampak membengkak. Aku terharu. Malam itu juga aku menghampiri ibuku. Aku mencium tangannya yang kasar, memeluknya dengan erat sembari memohon maaf atas keinginanku yang terlalu tinggi. Obsesif kompulsif mungkin adalah isu yang pas bagi mimpiku itu.

Esok harinya, tiba-tiba saja seorang berbaju empat saku safari datang kerumahku. Dengan penuh kebijaksanaan ia menjelaskan maksud dan tujuannya. Aku mengintipnya dari balik pintu, mendengar perbincangan orang itu dan ibuku. Lamat laun aku mulai memahami apa yang telah ia maksudkan. Tamu bersafari itu adalah seorang guru di SMA tempat tujuanku mendaftar. Aku terharu bukan main. Ternyata, ia ingin aku tetap sekolah. Detik itu pula, aku, ibuku dan kedua adikku bersujud syukur. Aku menangis sesenggukan. Beberapa kali aku mengucapkan terima kasih kepada guru tersebut. Karena bantuannya, aku bisa sekolah gratis sampai tamat SMA.

Di atas tikar pandan, ayahku terbaring tak berdaya. Tapi matanya tak bisa dibohongi. Ayahku meneteskan air mata kebanggaannya. Detik itu pula aku berjanji, aku tak akan pernah lagi menyerah. Aku tak akan marah pada Tuhan sedikitpun. Sebab Tuhan memang Maha Adil. Dan, akan kuabadikan nama ayah-ibuku dalam balutan semangat yang tak akan pernah berakhir. Ya Allah, terimakasih banyak atas segala rahmat-Mu. Selamat tinggal kebodohan. 

Selamat datang Tut Wuri Handayani!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar