Oleh : Arena Nur
Juara I Kategori Cerpen Audisi Penulis Muda Subang Berbakat 2013
Cinta
tertawan dalam bingkai lelah ibu. Ia terbaring tepat disampingku. Kerut dahi
yang bercerita, merana, berteriak padaku “Nak, ibu lelah.!” itu yang selalu aku
lihat dari pejam matanya.
Ini
bukan malam hari, bukan waktunya untuk terlelap melepaskan lelah. Ini sudah
pagi, bahkan embun nyaris pergi. Tapi bagi ibu, ini tak ubahnya dengan pukul
sembilan malam yang sudah waktunya untuk tertidur pulas di perbaringan malas.
Ya, dunia ibuku jungkir balik. Malam dijadikannya siang, begitu pun dengan
siang yang ia ubah menjadi malam. Seolah ibu tak pernah bersua dengan mentari.
Kupu-kupu
malam, begitu julukan yang tetangga dan teman-temanku sematkan untuk ibu.
Terdengar lebih hina. Tapi, ya sudahlah, bagiku itu lebih menis dibandingkan
dengan panggilan ‘pelacur’.
Aku
bergegas pergi untuk bersiap-siap untuk pergi sekolah. Ku bentangkan kain yang
semula membalut tubuhku yang mungil, ku selimuti tubuh ibu yang melipat menahan
dinginnya pagi. Tergeletak secarik kertas di meja makan, tertulis untaian pesan
dari ibu.
Ara, putri ibu yang
cantik. Ibu sudah menyiapkan nasi goreng untuk sarapanmu, nak. Maafkan ibu bila
disaat kamu meyantapnya, nasi itu sudah tidak lagi hangat. Ibu juga buatkan
telur matahari untukmu. Uang sakumu ada di tempat pinsilmu. Jangan malas
belajar ya sayang, ibu menyayangimu.
Pesan
itu yang selalu membuatku tersenyum, membalut luka ketika malam ibu tak
mendekapku. Ia masih sempat untuk membuatkanku sarapan. Aku tahu, saat membuat
nasi goreng ini pasti mata ibu setengah terpejam. Aku hanya mampu membayar
sepiring nasi goreng ini dengan kecupan di dahi ibu.
***
Baru
beberapa langkah aku mengayuh kaki menuju sekolah, di pertengahan perjalananku
sekelompok anak laki-laki mengejekku.
“eh
eh...itu Ara anak yang ibunya pelacur.” Celoteh Zaky teman sekelasku pada teman
yang lain sambil menoleh sinis padaku.
“Ha...ha...ha...Ara
anak hara-a-a-am...ha...ha...ha...”
Aku
tak gentar dengan semua ejekan itu, seperti inilah bila teman-teman sudah
mengataiku.
Di
sekolah aku nyaris selalu sendiri. Aku menahan tangis, untuk apa pula ditangisi,
mereka tidak pernah tahu tentang kehidupanku. Mengerti apa mereka tentang ibu?
Mereka saja masih bocah kelas lima SD yang masih merengek meminta uang jajan
pada orang tua mereka! Masih sama seperti ku, tapi setidaknya aku masih
menghargai ibu.
***
Bel
sudah berbunyi, tanda pembelajaran akan segera dimulai. Tapi kali ini berbeda.
Ibu guru wali kelasku hari ini tidak memberikan materi pembelajaran seperti
biasanya. Ia tiba di ruang kelas dengan tumpukan kertas yang ia bawa di
tangannya.
“Selamat
pagi anak-anak.”
“Pagi
bu...”
“Hari
ini kalian akan pulang cepat, dikarenakan para guru akan rapat. Selain itu,
akan di adakan pula rapat orang tua kalian, ibu sudah bawakan suratnya untuk
kalian berikan pada orang tua kalian di rumah. Ingat, untuk rapat kali ini di
wajibkan ayah kalian yang harus menghadirinya. Dan untuk lusa, kalian pun akan
diliburkan terkecuali Ara dan kakak kelas kalian Rasyid.”
Aku
tertegun, mengingat ayahku sudah lama tidak pernah ada dalam kehidupanku dan
ibuku.
“Bu,
kalo ayahnya ga ada gimana bu?”
“Kan
ada paman.”
“Ara
kan Cuma tinggal sama ibu, Ara ga punya saudara.”
“Sudah
ya anak-anak, hari ini pertemuan ibu akhiri, kalian jangan lupa belajar di
rumah. Assalamu’alaikum.” Sambung bu guru tanpa menjawab pertanyaanku lagi.
“Makanya
Ara, punya bapak itu satu aja, gak usah banyak tapi gak pernah ada di rumah!
Ha...ha...ha...” Ejek temanku sekelas.
Aku
pulang dengan wajah yang sendu. Mungkin aku masih terlalu polos untuk memahami
ini semua. Tapi sedikit banyaknya aku sudah mengerti. Aku bukan lagi anak kecil
yang berumur tiga tahun.
Sesampainya
di rumah, terlihat ibu sudah terbangun dari tidurnya. Gubuk kecil kami sudah
nampak rapih nan elok. Rupanya ibu sedang mencuci pakaian kami berdua.
“Assalamu’alaikum.
Ibu udah bangun ya? Bu, ini ada surat ada surat undangan rapat dari sekolah.”
“Wa’alaikumsalam.
Iya nak, taro aja di atas meja.” Sahut ibuku.
Aku
kembali ke kamarku. Mulai berkutat dengan tumpukan buku yang ku gemari.
***
Tak
terasa aku tertidur pulas, terbuai dengan cerita dan ilmu yang tertuah dalam
setiap lembar halaman yang ku ajak bermain. Dzuhur hampir terlewat dan ashar
akan segera datang. Ibu tidak ada di rumah. Ini bukan kali pertama aku
terbangun tanpa ibu di hadapanku. Aku bergegas mandi dan mengambil air wudhu.
Selepas
itu, ada yang menyita pandangan dan pikiranku. Tersimpan anggun kotak mungil
yang terbungkus kertas cantik di atas sajadahku. Aku baru ingat, hari ini adalah
hari ulang tahunku yang ke sepuluh tahun. Aku membuka kotak lucu itu dengan
wajah sumringah. Ternyata berisikan sebuah kitab suci Al-Quran yang di hadiahkan
oleh ibu dan sepucuk surat darinya.
Tuk putriku yang manja.
Zahra, putriku!
Jadikanlah Al-Quran ini sebagai pedoman hidupmu, kelak kau akan berhadapan
dengan dunia luar yang tak ramah, putriku! Engkau akan bertemu dengan segala
ancaman hidup. Hingga pada akhirnya, kau akan bertetap hati pada pendirianmu.
Teguhkanlah hatimu,
kuatkanlah iman mu!
Salam Manis
Ibumu.
Seperti
biasa, aku selalu menanti senja dan berebutan dengan ilalang untuk dapat bersua
dengannya. Selain pada Tuhan aku bercerita, pada angin pun aku berbagi. Aku
berharap malam tak pernah hadir, atau malam dapat berlalu dengan sekejap mata.
Aku meminta malam tak mengambil ibu dari sisiku. Tapi aku tersadar, dari mana
aku dan ibu akan mengisi perut, bila memang Tuhan berikan malam untuk
memenuhinya.
Mentari
sudah mulai tenggelam. Rembulan menyingsingkan senjaku. Membuka malam yang tak
ku nanti. Aku berpindah dari hamparan ilalang menuju tempat peribadatan untuk
melepaskan hari dan bermunajat pada Illahi. Lalu setelahnya, barulah aku pulang
ke rumah.
Lagi-lagi
kali ini ada yang berbeda di hariku. Tak lama kemudian ibu pulang dari
pelesirannya yang entah darimana. Aku tidak pernah mau menanyakan hal itu,
karena apa yang akan aku terima nanti hanyalah jawaban isak tangis ibu. Aku tak
peduli! Karena kini ia menemani tidur malamku. Saat seperti ini yang selalu aku
nanti, tidur dengan ditemani ibu. Aku bermanja malas di pangkuannya.
“Ibu
cantik ya.” Awal ku membuka cengkrama.
“Ara
juga cantik, malah lebih cantik dari ibu, nak. Ara sayang kan sama ibu?”
“Ara
sayang banget sama ibu, Ara kan anaknya ibu. Ibu juga sayang kan sama Ara?”
“Iya
dong, ibu sayang juga cinta sama Ara. Ara tau ga, kenapa ibu ngasih nama Ara?”
“Engga
tahu bu.”
“Zahra
Talita Dzakira itu adalah gadis yang berdzikir bagaikan bunga.”
“Oh,
berarti Ara itu bunga ya, bu?”
“Ara
itu bunga di hati ibu, dan Ara adalah bunga yang tumbuh indah di padang pasir.
Nak, jangan seperti ibu ya. Engkau mekar hanya sekali, jadilah bunga yang tetap
indah yang selalu dekat dengan Tuhan.” Nasihat ibu dengan peluh yang berderai
di pipi manisnya.
“Ara
ngantuk bu.”
Ku
hentikan suaranya yang merdu. Bukan aku tak ingin lebih lama menggenggam malam,
melainkan hanyalah tak ingin melihatnya menangis. Di hati masih tersimpan satu
pertanyaan, yang tak lain adalah tentang ayah. “Mengapa ayah pergi meninggalkan
kita, bu?” itu yang hendak ingin aku pertanyakan. Tapi, sudahlah! Aku tak ingin
menyayat hati ibu lebih dalam dengan mengingatkannya kembali pada ayah yang
entah dimana.
***
Mentari
mulai menyingkirkan malam, membunuh rembulan untuk kembali merebut tahta pagi.
Sedikit aku tak percaya, senyum simpul manis ibu membangunkanku. Aku mencubit
belahan pipinya, ternyata ini bukan sekedar mimpi. Malam tadi ibu benar-benar
menemaniku mendekap malam. Tidak hanya itu, ibu kini membimbingku mengaji dan
bersujud di hadapan Tuhan.
Secangkir
teh hangat kami nikmati berdua. Walau perut terus berkeroncong dengan
guncangannya, sesuap nasi tak berarti bila ibu harus pergi. Dinding menjadi
saksi, ketika cakrawala tak lagi menghindari. Pagi ini benar-benar milik ibu
dan aku. Dinginnya embun-pun tak mampu merasuk menghancurkan kehangatan yang
kami ciptakan.
“Ara
mau ikut ibu kesekolah?”
“Tapi
bu......”
“Udah,
ibu kali ini akan menjadi ayah buat Ara. Ibu akan memakai kemeja putih, celana
panjang hitam, dasi hitam, dan jas hitam.” Hiburnya sembari dengan mengenakan
stelan bak pria kantoran. “Ibu ganteng kan?”
“He..he..he..
ibu bisa aja deh.”
“Panggil
ayah dong!”
“Ok,
Ayah Ibuku...”
Aku
mengantarnya ke sekolah untuk menghadiri rapat orang tua murid. Sepanjang jalan
aku membanyangkan, tersirat ketika ibu duduk di antara ayah teman-temanku. Apa
kata wali kelasku nanti pada ibu? Entahlah, ibu terlihat yakin dengan derap
langkahnya. Aku tak bisa untuk menghentikannya.
Dengan
langkah pasti, ibu memasuki ruang rapat. Ia duduk di bangku barisan terdepan.
Aku terus mengawasinya dari jendela yang terbuka. Ibu terlihat gagah, bahunya
benar-benar kekar dan kuat. Siapa yang menyangka bila ia adalah seorang wanita
bila nampak dari belakang.
Berjam-jam
lamanya aku menanti ibu di koridor-koridor taman sekolahku. Ibu menghampiriku,
mengajakku pulang. Di sepanjang jalan, lagi-lagi aku terus berkicau.
“Hasil
rapatnya apa, bu?”
“Bukan
apa-apa.” Ibu tersenyum. “Oh ya, besok Ara akan menghadiri pengumuman hasil olympiade kemarin ya?”
“Oh
iya...Ara lupa, bu. Apa pun hasilnya nanti, ibu ga kecewa kan sama Ara?”
“Engga
sayang, Ara tetap berprestasi di hati ibu.”
Derap
langkah kami menumpulkan kerikil yang tajam. Hari ini, ibu mengajarkanku
mengalahkan mentari, bukan menebas tuntas rembulan. Ini tentang langkah yang
tak gentar di siang hari, tidak geliat di malam hari.
Bersamanya,
waktu terasa begitu cepat. Dan lagi malam membuat ibu pergi dari sampingku. Apa
boleh buat, aku harus bersahabat dengan mimpi. Tak peduli lara merundung
menyesakkan kesunyian. Aku berselimut bayangnya yang mulai sirna di pelupuk
mata.
Ara, putri ibu yang
pandai. Maafkan ibu bila tak sempat buatkan mu sarapan. Tapi ibu janji, nanti
ibu akan menjemputmu di sekolah. Dan akan ibu pastikan, ibu tidak akan kecewa
terhadap Ara.
Bukan
hanya sekedar ibu yang tak aku lihat ketika aku terbangun kali ini, tetapi
tinta yang ibu goreskan untuk ku pun berbeda isi dan petuahnya. Aku
meninggalkan rumah dengan langkah yang lemah.
***
“Bu,
kita sudah sampai ya?”
“Iya
Ara, kita sudah terlambat, pembukaan hasil akan segera di umumkan.”
Mengejutkan,
belum sampai aku duduk terlebih dahulu, aku sudah di panggil oleh pembawa acara
itu. Tak disangka dan diduga, ternyata aku yang menjadi juara olympiade tahun ini dalam bidang ilmu
pengetahuan alam. Aku melangkah ke depan panggung untuk menerima tropi dan
penghargaan lainnya.
Berjalan
diatas karpet merah yang terhampar. Perasaanku semakin berkecamuk. Semua
berbaur satu bergejolak di hati. Terlebih, blits
lampu kamera yang silih berganti menyoroti wajahku. Aku sudah seperti pejuang
negara yang berhasil menumpas para penjajah untuk hengkang dari negeri ini.
Belum lagi seragam sekolahku yang sudah lusuh dan sepatu yang penuh dengan
jahitan dan tambalan.
Ucapan
selamat terus mengalir. Acara sudah selesai, tapi kini aku di buru para
wartawan. Mereka terus melontarkan berbagai pertanyaan padaku. Walau lelah aku
berbicara, aku berusaha menjawab setiap pertanyaan itu. Tapi, ada satu
pertanyaan yang membuatku naik darah dibuatnya.
“Apakah
benar, ibu adik adalah seorang pelacur?”
“Lalu,
siapa yang mengajarimu ketika di rumah, sementara ibumu pergi?”
Dengan
bulir air mata yang tak lagi mampu tertahan, aku menjawabnya dengan lantang
“PELACUR ITU, IBUKU !”
Seketika
hening. Semua suara seolah lenyap ditelan bumi. Berpasang-pasang mata memandangku
dengan terkesima. Selaksa hati yang penuh luka, aku meminta untuk pulang saat
itu juga. Tidak ingin aku memandang lagi, pada mereka yang berkerumun di
hadapanku. Wajah ibu dan air mata ibu yang justru memnuhi kedua bola mataku.
Retakan-retakan
hati, ku kumpulkan. Di sepanjang jalan aku terdiam, bungkam dalam seribu bahasa.
Menenggelamkan hidup dan nyawaku yang tersisa.
Ibu
menepati janjinya. Ia menantiku di parkiran halaman sekolah. Aku berlari
menghampirinya dengan tropi dan penghargaan lain dikedua tanganku. Aku menangis
dalam peluknya. Kedua tangan lembutnya merangkulku dengan erat. Ia begitu
hangat menyambutku. Matanya berkaca-kaca, air mata seolah akan pecah darinya.
Tapi ia masih harus menahannya.
“Selamat
ya bu, kami merasa bangga memiliki murid seperti Ara. Ibu sudah berhasil untuk
mendidiknya. Maafkan kami karena tak mampu menjaganya untuk hari ini.”
“Oh,
tidak apa-apa bu. Terimakasih, kalau begitu kami permisi dulu.”
Di
balik layar yang tersirat dalam raut wajahnya, aku tahu ibu sedang sembunyikan
satu tawanan yang terpenjara dalam hatinya. Ibu membawaku pergi. Jalan ini
tidak pernah aku lewati. Menelusup merayap dalam jalan setapak.
“Kita
akan kemana, bu?”
“Sebentar
lagi kita akan sampai, Ara pasti suka.” Dengan senyum yang sesekali menggelitik
hatiku. “Nah, kita sudah sampai, sayang.”
Ibu
menghentikan langkahnya, bersandar tepat di bawah rindangnya pohon beringin. Ia
menghela nafas panjang. Tanda persahabatannya dengan alam.
Aku
duduk dihadapannya. Ku simpan semua penghargaan dan tropi dengan menggeletak
begitu saja di hamparan rerumputan. Pandanganku menusuk lebih dalam binar
matanya. Menatap pekat sejuk wajahnya. Dengan penuh tanya. Aku tak mengerti,
mengapa ibu membawaku ke hamparan tanah merah ini yang hanya terdapat satu
tumbuhan saja di luasnya. Bukan membawaku pulang ke rumah seperti biasa.
“Lihatlah
nak, begitu baiknya Tuhan kepada mu. Dia biarkan sebidang tanah yang terhampar
begitu saja di tengah sesaknya kota. Disini semua suara teredam dan diam.
Masihkah engkau ingin menangis?”
“Bu,
dunia ini jahat pada ibu?”
Ibu
merangkul ku.
“Tidak
nak! Tuhan terlalu baik pada ibu, dan Tuhan terlalu baik bila kau anggap ciptaan-Nya
sebagai ladang kesakitan bagimu.”
“Tapi
Ara lelah, bu. Mereka terus memaki ibu, mengatai ibu.”
“Mereka
tidak salah, sayang. Hanya saja mereka tidak mengetahui apa dan bagaimana kita.
Bukankah ibu tidak pernah memintamu untuk dendam? Ingat nak, semua orang
memiliki haknya tersendiri. Untuk mereka lidah mereka.”
Apakah
hati ibu terbuat dari serpihan baja yang saling berikatan, sehingga tidak ada
celah untuk merasa terluka. Yang ia ketahui hanyalah nilai-nilai kebaikan
Tuhan. Walau kini ia berada dalam lingkaran yang terbalut kesalahan.
Ya,
pelacur itu adalah ibuku! Dia tetap ibuku, dan selamanya ibuku. Aku tahu ia salah. Aku pun terlanjur
mengetahui bahwa yang ia lakukan tak lain adalah untuk menyambung kehidupan.
Untuk ku pula.
Mereka
hanya berperang dengan lidah tajam mereka. Tapi, peduli apa mereka kepada kami,
kepada ibu! Apa mereka mau menghidupi kami? Tidak bukan!
Hidup
bukan hanya tentang seberapa banyak titik yang di kumpulkan dalam beberapa episode kehidupan. Melainkan, selurus
apakah garis yang kita tarik dari sekumpulannya yang di satukan. Tuhan bukan
untuk dicari, namun untuk di hadirkan dalam setiap helaan nafas kehidupan.
Ibu
selalu mengajarkanku tentang kebaikan; Entah itu mengenai Tuhan atau pun segala
hal ciptaan-Nya. Bila ibu tidak mendidik ku untuk mengeluh dan menyerah begitu
saja. Sudah pasti ia akan menghukum ku bila aku berputus asa. Aku yang akan
membawanya kembali, kembali pada Illahi juga pada mentari dan siang hari.
Pelacur
itu ibuku! Tapi surgaku berada tepat di bawah telapak kakinya. Buah memang
tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, begitu kata pepatah. Namun aku yakin, buah
mampu tumbuh menjadi tunas yang lebih baik dari pohon induknya.
Cukup
cinta dan kasih ibu yang menjadi cahaya dalam malam kehidupannya. Dan harapan
itu adalah aku, yang akan berjuang bersamanya. Terimakasih ibu, aku mencintaimu.
***
dari segi tulisan dan alur sudah cukup baik, namun penggambaran karakter dan makna masih kabur. sangat tidak lazim bahwa di dunia nyata ada anak yang seperti itu dengan lingkungan seperti itu. barangkali di hadirkan sesuatu yang bisa menggugah anak berpikiran bahwa meskipun ibunya pelacur, tapi dia bisa menerima bahkan berprestasi. disini belum diceritakan kenapa dia bisa berpikiran seperti itu. terimakasih dan saya apresiasi cerpen ini memang layak jadi juara.
BalasHapus