Rabu, 05 Februari 2014

Pelacur itu, Ibuku!


Oleh : Arena Nur 

Juara I Kategori Cerpen Audisi Penulis Muda Subang Berbakat 2013 


Cinta tertawan dalam bingkai lelah ibu. Ia terbaring tepat disampingku. Kerut dahi yang bercerita, merana, berteriak padaku “Nak, ibu lelah.!” itu yang selalu aku lihat dari pejam matanya.

Ini bukan malam hari, bukan waktunya untuk terlelap melepaskan lelah. Ini sudah pagi, bahkan embun nyaris pergi. Tapi bagi ibu, ini tak ubahnya dengan pukul sembilan malam yang sudah waktunya untuk tertidur pulas di perbaringan malas. Ya, dunia ibuku jungkir balik. Malam dijadikannya siang, begitu pun dengan siang yang ia ubah menjadi malam. Seolah ibu tak pernah bersua dengan mentari.

Kupu-kupu malam, begitu julukan yang tetangga dan teman-temanku sematkan untuk ibu. Terdengar lebih hina. Tapi, ya sudahlah, bagiku itu lebih menis dibandingkan dengan panggilan ‘pelacur’.

Aku bergegas pergi untuk bersiap-siap untuk pergi sekolah. Ku bentangkan kain yang semula membalut tubuhku yang mungil, ku selimuti tubuh ibu yang melipat menahan dinginnya pagi. Tergeletak secarik kertas di meja makan, tertulis untaian pesan dari ibu.



Ara, putri ibu yang cantik. Ibu sudah menyiapkan nasi goreng untuk sarapanmu, nak. Maafkan ibu bila disaat kamu meyantapnya, nasi itu sudah tidak lagi hangat. Ibu juga buatkan telur matahari untukmu. Uang sakumu ada di tempat pinsilmu. Jangan malas belajar ya sayang, ibu menyayangimu.



Pesan itu yang selalu membuatku tersenyum, membalut luka ketika malam ibu tak mendekapku. Ia masih sempat untuk membuatkanku sarapan. Aku tahu, saat membuat nasi goreng ini pasti mata ibu setengah terpejam. Aku hanya mampu membayar sepiring nasi goreng ini dengan kecupan di dahi ibu.

“Ara sayang ibu.” Ucapku dengan halus.



***

Baru beberapa langkah aku mengayuh kaki menuju sekolah, di pertengahan perjalananku sekelompok anak laki-laki mengejekku.

“eh eh...itu Ara anak yang ibunya pelacur.” Celoteh Zaky teman sekelasku pada teman yang lain sambil menoleh sinis padaku.

“Ha...ha...ha...Ara anak hara-a-a-am...ha...ha...ha...”

Aku tak gentar dengan semua ejekan itu, seperti inilah bila teman-teman sudah mengataiku.

Di sekolah aku nyaris selalu sendiri. Aku menahan tangis, untuk apa pula ditangisi, mereka tidak pernah tahu tentang kehidupanku. Mengerti apa mereka tentang ibu? Mereka saja masih bocah kelas lima SD yang masih merengek meminta uang jajan pada orang tua mereka! Masih sama seperti ku, tapi setidaknya aku masih menghargai ibu.

***

Bel sudah berbunyi, tanda pembelajaran akan segera dimulai. Tapi kali ini berbeda. Ibu guru wali kelasku hari ini tidak memberikan materi pembelajaran seperti biasanya. Ia tiba di ruang kelas dengan tumpukan kertas yang ia bawa di tangannya.

“Selamat pagi anak-anak.”

“Pagi bu...”

“Hari ini kalian akan pulang cepat, dikarenakan para guru akan rapat. Selain itu, akan di adakan pula rapat orang tua kalian, ibu sudah bawakan suratnya untuk kalian berikan pada orang tua kalian di rumah. Ingat, untuk rapat kali ini di wajibkan ayah kalian yang harus menghadirinya. Dan untuk lusa, kalian pun akan diliburkan terkecuali Ara dan kakak kelas kalian Rasyid.”

Aku tertegun, mengingat ayahku sudah lama tidak pernah ada dalam kehidupanku dan ibuku.

“Bu, kalo ayahnya ga ada gimana bu?”

“Kan ada paman.”

“Ara kan Cuma tinggal sama ibu, Ara ga punya saudara.”

“Sudah ya anak-anak, hari ini pertemuan ibu akhiri, kalian jangan lupa belajar di rumah. Assalamu’alaikum.” Sambung bu guru tanpa menjawab pertanyaanku lagi.

“Makanya Ara, punya bapak itu satu aja, gak usah banyak tapi gak pernah ada di rumah! Ha...ha...ha...” Ejek temanku sekelas.

Aku pulang dengan wajah yang sendu. Mungkin aku masih terlalu polos untuk memahami ini semua. Tapi sedikit banyaknya aku sudah mengerti. Aku bukan lagi anak kecil yang berumur tiga tahun.

Sesampainya di rumah, terlihat ibu sudah terbangun dari tidurnya. Gubuk kecil kami sudah nampak rapih nan elok. Rupanya ibu sedang mencuci pakaian kami berdua.

“Assalamu’alaikum. Ibu udah bangun ya? Bu, ini ada surat ada surat undangan rapat dari sekolah.”

“Wa’alaikumsalam. Iya nak, taro aja di atas meja.” Sahut ibuku.

Aku kembali ke kamarku. Mulai berkutat dengan tumpukan buku yang ku gemari.

***

Tak terasa aku tertidur pulas, terbuai dengan cerita dan ilmu yang tertuah dalam setiap lembar halaman yang ku ajak bermain. Dzuhur hampir terlewat dan ashar akan segera datang. Ibu tidak ada di rumah. Ini bukan kali pertama aku terbangun tanpa ibu di hadapanku. Aku bergegas mandi dan mengambil air wudhu.

Selepas itu, ada yang menyita pandangan dan pikiranku. Tersimpan anggun kotak mungil yang terbungkus kertas cantik di atas sajadahku. Aku baru ingat, hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke sepuluh tahun. Aku membuka kotak lucu itu dengan wajah sumringah. Ternyata berisikan sebuah kitab suci Al-Quran yang di hadiahkan oleh ibu dan sepucuk surat darinya.



Tuk putriku yang manja.

Zahra, putriku! Jadikanlah Al-Quran ini sebagai pedoman hidupmu, kelak kau akan berhadapan dengan dunia luar yang tak ramah, putriku! Engkau akan bertemu dengan segala ancaman hidup. Hingga pada akhirnya, kau akan bertetap hati pada pendirianmu.

Teguhkanlah hatimu, kuatkanlah iman mu!

Salam Manis

Ibumu.



Seperti biasa, aku selalu menanti senja dan berebutan dengan ilalang untuk dapat bersua dengannya. Selain pada Tuhan aku bercerita, pada angin pun aku berbagi. Aku berharap malam tak pernah hadir, atau malam dapat berlalu dengan sekejap mata. Aku meminta malam tak mengambil ibu dari sisiku. Tapi aku tersadar, dari mana aku dan ibu akan mengisi perut, bila memang Tuhan berikan malam untuk memenuhinya.

Mentari sudah mulai tenggelam. Rembulan menyingsingkan senjaku. Membuka malam yang tak ku nanti. Aku berpindah dari hamparan ilalang menuju tempat peribadatan untuk melepaskan hari dan bermunajat pada Illahi. Lalu setelahnya, barulah aku pulang ke rumah.

Lagi-lagi kali ini ada yang berbeda di hariku. Tak lama kemudian ibu pulang dari pelesirannya yang entah darimana. Aku tidak pernah mau menanyakan hal itu, karena apa yang akan aku terima nanti hanyalah jawaban isak tangis ibu. Aku tak peduli! Karena kini ia menemani tidur malamku. Saat seperti ini yang selalu aku nanti, tidur dengan ditemani ibu. Aku bermanja malas di pangkuannya.

“Ibu cantik ya.” Awal ku membuka cengkrama.

“Ara juga cantik, malah lebih cantik dari ibu, nak. Ara sayang kan sama ibu?”

“Ara sayang banget sama ibu, Ara kan anaknya ibu. Ibu juga sayang kan sama Ara?”

“Iya dong, ibu sayang juga cinta sama Ara. Ara tau ga, kenapa ibu ngasih nama Ara?”

“Engga tahu bu.”

“Zahra Talita Dzakira itu adalah gadis yang berdzikir bagaikan bunga.”

“Oh, berarti Ara itu bunga ya, bu?”

“Ara itu bunga di hati ibu, dan Ara adalah bunga yang tumbuh indah di padang pasir. Nak, jangan seperti ibu ya. Engkau mekar hanya sekali, jadilah bunga yang tetap indah yang selalu dekat dengan Tuhan.” Nasihat ibu dengan peluh yang berderai di pipi manisnya.

“Ara ngantuk bu.”

Ku hentikan suaranya yang merdu. Bukan aku tak ingin lebih lama menggenggam malam, melainkan hanyalah tak ingin melihatnya menangis. Di hati masih tersimpan satu pertanyaan, yang tak lain adalah tentang ayah. “Mengapa ayah pergi meninggalkan kita, bu?” itu yang hendak ingin aku pertanyakan. Tapi, sudahlah! Aku tak ingin menyayat hati ibu lebih dalam dengan mengingatkannya kembali pada ayah yang entah dimana.


***

Mentari mulai menyingkirkan malam, membunuh rembulan untuk kembali merebut tahta pagi. Sedikit aku tak percaya, senyum simpul manis ibu membangunkanku. Aku mencubit belahan pipinya, ternyata ini bukan sekedar mimpi. Malam tadi ibu benar-benar menemaniku mendekap malam. Tidak hanya itu, ibu kini membimbingku mengaji dan bersujud di hadapan Tuhan.

Secangkir teh hangat kami nikmati berdua. Walau perut terus berkeroncong dengan guncangannya, sesuap nasi tak berarti bila ibu harus pergi. Dinding menjadi saksi, ketika cakrawala tak lagi menghindari. Pagi ini benar-benar milik ibu dan aku. Dinginnya embun-pun tak mampu merasuk menghancurkan kehangatan yang kami ciptakan.

“Ara mau ikut ibu kesekolah?”

“Tapi bu......”

“Udah, ibu kali ini akan menjadi ayah buat Ara. Ibu akan memakai kemeja putih, celana panjang hitam, dasi hitam, dan jas hitam.” Hiburnya sembari dengan mengenakan stelan bak pria kantoran. “Ibu ganteng kan?”

“He..he..he.. ibu bisa aja deh.”

“Panggil ayah dong!”

“Ok, Ayah Ibuku...”

Aku mengantarnya ke sekolah untuk menghadiri rapat orang tua murid. Sepanjang jalan aku membanyangkan, tersirat ketika ibu duduk di antara ayah teman-temanku. Apa kata wali kelasku nanti pada ibu? Entahlah, ibu terlihat yakin dengan derap langkahnya. Aku tak bisa untuk menghentikannya.

Dengan langkah pasti, ibu memasuki ruang rapat. Ia duduk di bangku barisan terdepan. Aku terus mengawasinya dari jendela yang terbuka. Ibu terlihat gagah, bahunya benar-benar kekar dan kuat. Siapa yang menyangka bila ia adalah seorang wanita bila nampak dari belakang.

Berjam-jam lamanya aku menanti ibu di koridor-koridor taman sekolahku. Ibu menghampiriku, mengajakku pulang. Di sepanjang jalan, lagi-lagi aku terus berkicau.

“Hasil rapatnya apa, bu?”

“Bukan apa-apa.” Ibu tersenyum. “Oh ya, besok Ara akan menghadiri pengumuman hasil olympiade kemarin ya?”

“Oh iya...Ara lupa, bu. Apa pun hasilnya nanti, ibu ga kecewa kan sama Ara?”

“Engga sayang, Ara tetap berprestasi di hati ibu.”

Derap langkah kami menumpulkan kerikil yang tajam. Hari ini, ibu mengajarkanku mengalahkan mentari, bukan menebas tuntas rembulan. Ini tentang langkah yang tak gentar di siang hari, tidak geliat di malam hari.

Bersamanya, waktu terasa begitu cepat. Dan lagi malam membuat ibu pergi dari sampingku. Apa boleh buat, aku harus bersahabat dengan mimpi. Tak peduli lara merundung menyesakkan kesunyian. Aku berselimut bayangnya yang mulai sirna di pelupuk mata.



Ara, putri ibu yang pandai. Maafkan ibu bila tak sempat buatkan mu sarapan. Tapi ibu janji, nanti ibu akan menjemputmu di sekolah. Dan akan ibu pastikan, ibu tidak akan kecewa terhadap Ara.



Bukan hanya sekedar ibu yang tak aku lihat ketika aku terbangun kali ini, tetapi tinta yang ibu goreskan untuk ku pun berbeda isi dan petuahnya. Aku meninggalkan rumah dengan langkah yang lemah.

***


“Bu, kita sudah sampai ya?”

“Iya Ara, kita sudah terlambat, pembukaan hasil akan segera di umumkan.”

Mengejutkan, belum sampai aku duduk terlebih dahulu, aku sudah di panggil oleh pembawa acara itu. Tak disangka dan diduga, ternyata aku yang menjadi juara olympiade tahun ini dalam bidang ilmu pengetahuan alam. Aku melangkah ke depan panggung untuk menerima tropi dan penghargaan lainnya.

Berjalan diatas karpet merah yang terhampar. Perasaanku semakin berkecamuk. Semua berbaur satu bergejolak di hati. Terlebih, blits lampu kamera yang silih berganti menyoroti wajahku. Aku sudah seperti pejuang negara yang berhasil menumpas para penjajah untuk hengkang dari negeri ini. Belum lagi seragam sekolahku yang sudah lusuh dan sepatu yang penuh dengan jahitan dan tambalan.

Ucapan selamat terus mengalir. Acara sudah selesai, tapi kini aku di buru para wartawan. Mereka terus melontarkan berbagai pertanyaan padaku. Walau lelah aku berbicara, aku berusaha menjawab setiap pertanyaan itu. Tapi, ada satu pertanyaan yang membuatku naik darah dibuatnya.

“Apakah benar, ibu adik adalah seorang pelacur?”

“Lalu, siapa yang mengajarimu ketika di rumah, sementara ibumu pergi?”

Dengan bulir air mata yang tak lagi mampu tertahan, aku menjawabnya dengan lantang “PELACUR ITU, IBUKU !”

Seketika hening. Semua suara seolah lenyap ditelan bumi. Berpasang-pasang mata memandangku dengan terkesima. Selaksa hati yang penuh luka, aku meminta untuk pulang saat itu juga. Tidak ingin aku memandang lagi, pada mereka yang berkerumun di hadapanku. Wajah ibu dan air mata ibu yang justru memnuhi kedua bola mataku.

Retakan-retakan hati, ku kumpulkan. Di sepanjang jalan aku terdiam, bungkam dalam seribu bahasa. Menenggelamkan hidup dan nyawaku yang tersisa.

Ibu menepati janjinya. Ia menantiku di parkiran halaman sekolah. Aku berlari menghampirinya dengan tropi dan penghargaan lain dikedua tanganku. Aku menangis dalam peluknya. Kedua tangan lembutnya merangkulku dengan erat. Ia begitu hangat menyambutku. Matanya berkaca-kaca, air mata seolah akan pecah darinya. Tapi ia masih harus menahannya.

“Selamat ya bu, kami merasa bangga memiliki murid seperti Ara. Ibu sudah berhasil untuk mendidiknya. Maafkan kami karena tak mampu menjaganya untuk hari ini.”

“Oh, tidak apa-apa bu. Terimakasih, kalau begitu kami permisi dulu.”

Di balik layar yang tersirat dalam raut wajahnya, aku tahu ibu sedang sembunyikan satu tawanan yang terpenjara dalam hatinya. Ibu membawaku pergi. Jalan ini tidak pernah aku lewati. Menelusup merayap dalam jalan setapak.

“Kita akan kemana, bu?”

“Sebentar lagi kita akan sampai, Ara pasti suka.” Dengan senyum yang sesekali menggelitik hatiku. “Nah, kita sudah sampai, sayang.”

Ibu menghentikan langkahnya, bersandar tepat di bawah rindangnya pohon beringin. Ia menghela nafas panjang. Tanda persahabatannya dengan alam.

Aku duduk dihadapannya. Ku simpan semua penghargaan dan tropi dengan menggeletak begitu saja di hamparan rerumputan. Pandanganku menusuk lebih dalam binar matanya. Menatap pekat sejuk wajahnya. Dengan penuh tanya. Aku tak mengerti, mengapa ibu membawaku ke hamparan tanah merah ini yang hanya terdapat satu tumbuhan saja di luasnya. Bukan membawaku pulang ke rumah seperti biasa.

“Lihatlah nak, begitu baiknya Tuhan kepada mu. Dia biarkan sebidang tanah yang terhampar begitu saja di tengah sesaknya kota. Disini semua suara teredam dan diam. Masihkah engkau ingin menangis?”

“Bu, dunia ini jahat pada ibu?”

Ibu merangkul ku.

“Tidak nak! Tuhan terlalu baik pada ibu, dan Tuhan terlalu baik bila kau anggap ciptaan-Nya sebagai ladang kesakitan bagimu.”

“Tapi Ara lelah, bu. Mereka terus memaki ibu, mengatai ibu.”

“Mereka tidak salah, sayang. Hanya saja mereka tidak mengetahui apa dan bagaimana kita. Bukankah ibu tidak pernah memintamu untuk dendam? Ingat nak, semua orang memiliki haknya tersendiri. Untuk mereka lidah mereka.”

Apakah hati ibu terbuat dari serpihan baja yang saling berikatan, sehingga tidak ada celah untuk merasa terluka. Yang ia ketahui hanyalah nilai-nilai kebaikan Tuhan. Walau kini ia berada dalam lingkaran yang terbalut kesalahan.

Ya, pelacur itu adalah ibuku! Dia tetap ibuku, dan selamanya ibuku.  Aku tahu ia salah. Aku pun terlanjur mengetahui bahwa yang ia lakukan tak lain adalah untuk menyambung kehidupan. Untuk ku pula.

Mereka hanya berperang dengan lidah tajam mereka. Tapi, peduli apa mereka kepada kami, kepada ibu! Apa mereka mau menghidupi kami? Tidak bukan!

Hidup bukan hanya tentang seberapa banyak titik yang di kumpulkan dalam beberapa episode kehidupan. Melainkan, selurus apakah garis yang kita tarik dari sekumpulannya yang di satukan. Tuhan bukan untuk dicari, namun untuk di hadirkan dalam setiap helaan nafas kehidupan.

Ibu selalu mengajarkanku tentang kebaikan; Entah itu mengenai Tuhan atau pun segala hal ciptaan-Nya. Bila ibu tidak mendidik ku untuk mengeluh dan menyerah begitu saja. Sudah pasti ia akan menghukum ku bila aku berputus asa. Aku yang akan membawanya kembali, kembali pada Illahi juga pada mentari dan siang hari.

Pelacur itu ibuku! Tapi surgaku berada tepat di bawah telapak kakinya. Buah memang tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, begitu kata pepatah. Namun aku yakin, buah mampu tumbuh menjadi tunas yang lebih baik dari pohon induknya.

Cukup cinta dan kasih ibu yang menjadi cahaya dalam malam kehidupannya. Dan harapan itu adalah aku, yang akan berjuang bersamanya. Terimakasih ibu, aku mencintaimu.


***








1 komentar:

  1. dari segi tulisan dan alur sudah cukup baik, namun penggambaran karakter dan makna masih kabur. sangat tidak lazim bahwa di dunia nyata ada anak yang seperti itu dengan lingkungan seperti itu. barangkali di hadirkan sesuatu yang bisa menggugah anak berpikiran bahwa meskipun ibunya pelacur, tapi dia bisa menerima bahkan berprestasi. disini belum diceritakan kenapa dia bisa berpikiran seperti itu. terimakasih dan saya apresiasi cerpen ini memang layak jadi juara.

    BalasHapus